Dari mana asal semua emas yang ada di dunia ini? Sebuah penelitian mengungkap jika sebuah tabrakan hebat antara dua bintang neutron sekitar 4,6 miliar tahun lalu menjadi cikal bakal munculnya logam di Bumi, termasuk di antaranya emas dan platinum. Saat kedua bintang tersebut bertumbukan, ledakan menghujani Tata Surya yang belum terbentuk dan masih berupa awan dan gas dengan unsur-unsur berat. Selanjutnya, menurut para ilmuwan dari Colombia University dan University of Florida, tabrakan hebat itu menghasilkan sebanyak 0,3 persen logam termasuk emas, platinum, uranium beserta unsur-unsur berat lainnya.

Temuan ini juga sekaligus memberikan pandangan baru, karena selama ini teori yang mengemuka berpendapat jika unsur-unsur berat berasal dari ledakan supernova. Jadi bisa dikatakan jika penelitian ini merupakan yang pertama mempertimbangkan penggabungan bintang neutron kuno dapat menciptakan sebuah planet yang berisi logam mulia. Para ilmuwan menguji teori mereka dengan melakukan pengamatan secara langsung. Selain itu mereka juga menggunakan perhitungan matematis dengan cara membandingkan unsur-unsur radioaktif yang tersimpan dalam meteroit kuno. Dalam hal ini meteorit merupakan alat yang membantu karena membawa jejak isotop radioaktif. Isotop ini sendiri terbentuk ketika bintang-bintang neutron bertabrakan. Selanjutnya isotop tersebut akan menjadi bagian dari meteroit Saat meteorit rusak karena tabrakan yang berulang kali, unsur-unsur yang terbawa dalam meteorit menjadi bagian dari proses geologi planet. Dengan begitu, meteorit tersebut dapat memberikan informasi berguna bagi para ilmuwan untuk merekonstruksi waktu mereka diciptakan.Dengan mengukur berapa banyak elemen dalam meteroit yang rusak, tim dapat menghitung kapan tabrakan bintang neutron yang menyebabkan terbentuknya elemen-elemen berat itu terjadi. Hasilnya 4,6 miliar tahun yang lalu. "Apa yang telah kita temukan begitu luar biasa dan begitu berarti bagi masa depan. Ini adalah pencarian dasar kemanusiaan: Dari mana kita berasal dan ke mana kita akan pergi," kata Szabolcs Márka, Ph.D, peneliti dari University of Colombia. Penelitian ini telah dipublikasikan di Nature. KOMPAS.com (15/05/2019).
 

Yuddy Ahmad Ramdhani

0 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *